
Industri F&B di kota-kota kuliner papan atas seperti Singapura, Bangkok, dan Hong Kong tengah berada di titik balik. Perubahan selera konsumen yang terus bergerak, pasar yang semakin padat, serta tekanan inflasi global memaksa para pelaku industri untuk kembali menata langkah dan strategi bisnis mereka.
Namun, di balik tantangan itu, terbentang peluang yang tak kalah menarik di destinasi-destinasi baru yang sedang bertumbuh. Hambatan masuk yang lebih ringan, munculnya kelas menengah ke atas yang makin berdaya beli, dan biaya operasional yang lebih bersahabat menjadikan tempat-tempat ini lahan subur bagi lahirnya inovasi dan konsep F&B terbaru. Gelombang pembukaan restoran dan bar di lokasi-lokasi ini menandai babak baru dalam peta kuliner dunia.
Topik inilah yang menjadi fokus FutureFWD by Saladplate yang dalam tahun ini diadakan di Kuala Lumpur pada 25 September nanti. Program intensif sepanjang hari ini menjadi ajang pertemuan para pemimpin visioner, inovator terdepan, dan disruptor berpengaruh di kawasan Asia. Bersama-sama, mereka mengupas kekuatan besar yang tengah mengubah lanskap ekspektasi konsumen, perkembangan teknologi, dan dinamika pasar. Dari forum ini, lahirlah wawasan strategis dan pandangan ke depan yang membentuk arah masa depan industri F&B di Asia.
Salah satu narasumber utama adalah Stef Wijono, sosok yang punya andil membangun The Union Group menjadi salah satu grup restoran paling disegani di Jakarta. Di bawah kepimpinannya, nama The Union Group melejit di Asia, terutama saat The Cocktail Club menjadi bar pertama di Indonesia yang masuk dalam daftar prestisius Asia’s 50 Best Bars, serta tahun ini Modern Haus menyabet gelar bar terbaik di Indonesia. Berikut diskusi Feastin’ dengan Stef Wijono mengenai pandangan serta semangatnya terhadap lanskap F&B Jakarta yang makin dinamis.
F: Di tengah melambatnya euforia pembukaan restoran pasca-COVID, pasar F&B di Jakarta mulai terasa jenuh. Namun, bagi The Union Group, situasi ini bukan alasan untuk berhenti, melainkan momen untuk menata strategi.
SW: “Kami sekarang lebih selektif saat membuka konsep baru. Ekspansi memang sedikit melambat, tapi tidak berarti berhenti total. Justru kami jadi lebih kreatif menggelar acara dan promosi, supaya pelanggan tetap antusias. Pada akhirnya, kualitas dan konsistensi pada produk dan layanan tetap menjadi pembeda utama — sama seperti dulu.”
F: Menariknya, di saat sebagian kota besar di Asia mulai jenuh, Jakarta justru mencuri perhatian dunia. Ada momentum baru yang mengangkat ibu kota ke peta kuliner internasional.
SW: “Saya rasa, pengakuan internasional yang diraih August di Asia’s 50 Best Restaurants 2025 dan munculnya restoran fine dining seperti Esa dan Suma membuat Jakarta semakin dilirik. Kehadiran chef-chef muda lewat konsep seperti Young dan Mata Karanjang juga membawa warna baru dan napas segar di pasar.”
F: Namun, tren kuliner global memang sedang bergeser. Di pasar yang lebih matang seperti Singapura dan Hong Kong, fine dining mulai kehilangan pamor, digantikan segmen menengah yang lebih kasual. Apakah ini juga akan terjadi di Jakarta?
SW: “Mungkin iya untuk kota-kota yang sudah mapan. Tapi di pasar yang sedang berkembang seperti Bangkok dan Jakarta, fine dining — meskipun tampil dengan gaya lebih santai dan tidak terlalu formal — tetap punya tempat dan peminatnya.”
F: Di balik semua itu, ada tantangan besar yang tak kalah penting: talenta. Industri F&B di Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia yang terampil dan berpengalaman.
SW: “Kami selalu mencari talenta baru di semua divisi, tapi yang tak kalah penting, kami juga mengembangkan talenta yang sudah ada. Contohnya, Chef Fernando Sindu yang menjadi Head Chef di Cork&Screw, kini juga menggarap masakan Spanyol modern di Bar Luca, dan sebentar lagi akan membuka dua konsep restoran Indonesia terbaru.”
Di tangan pelaku seperti The Union Group, tantangan dan peluang selalu berjalan beriringan — menjadikan Jakarta bukan sekadar pasar, tetapi panggung kuliner yang semakin diperhitungkan di Asia.